Selasa, 22 Maret 2016

Romantisme Kala Hujan

Sesaat kemudian hujan datang. Aku melajukan motorku, menepi di bawah pohon yang lebatnya setengah-tengah. Aku tak sendiri, tapi bersama kumpulan manusia pemotor lain. Lalu Tuhan menunjukkan kuasanya.

Di depanku, seorang bapak memboncengkan dua anaknya. Yang di tengah masih balita, sementara kakaknya di belakang sekitar Usia SD kelas satu. Bertiga, mereka mencoba tidak membawa berkah hujan banyak-banyak. Berkah baju yang kering lebih mereka inginkan.

Sayangnya pohon ini bukan payung yang rapat. Daun yang berjamaah padanya masih mengijinkan beberapa air hujan menegaskan hukum gravitasi. Sedikit berkah hujan kami terima.

Saat itulah romansa itu terjadi. Sang kakak melepas kupluknya, lalu dengan hati-hati memasangkan pada adiknya yang diam syahdu di bawah rintik air. Tak hanya sampai di sana, dahi adiknya diseka dengan lembut. Memastikan adiknya tak menerima air hujan banyak-banyak. Romantisme di tengah hujan bukan mutlak hanya milik sepasang kekasih.

Mungkin sepele bagimu, tapi dari mataku ini wujud cinta yang besar. Balasan apa yang bisa diharapkan dari seorang balita? Sang kakak melakukannya tanpa pamrih. Ketulusan yang lapang nampak padanya. Kalaupun ada imbal balik padanya, pastilah itu nikmat ketulusan yang menenangkan hati keduanya. Tuhan ada di sana.

----------
*Sayangnya kakakku ada di Jakarta, di sini kekasih pun tak ada. Maka menyeka batok motorku adalah tindakan romantis paling mudah saat itu.
😁😁😁

Jumat, 11 Maret 2016

Manusia Gunting

Yang merusak belum tentu bisa memperbaiki. Apalagi soal rasa percaya, ini perkara lebih serius.

Lihatlah gunting. Dia bisa memotong, tapi tak bisa menyambungkan. Begitu sudah 'kres' dia tak bisa bikin untuk jadi 'klop' lagi.

Aku coba pahami manusia. Manusia mirip gunting ini, dia berhasil memutus rasa percayaku padanya. Dan memang seperti gunting, dia tak bisa menyambungkan lagi.

Pada proses 'kres' itulah sakit yang teramat. Sakit yang lama lama toh hilang juga. Tak sakit lagi, tapi tak hilang juga bekasnya. Pun tak hilang juga rasa was was bertemu manusia gunting lainnya.

Bagai malam, ini kasus kelam. Mengumpat serampangan boleh jadi. Tapi ingat, gelap malam ada untuk menemani lelapmu. Gelap, tapi berhikmah.

Lihatlah lagi gunting. Memotong motong kain dia mampu. Maka coba temukan dia dengan benang benang. Oleh tangan yang ahli, gunting ini memotong kain, mengoyaknya. Lalu memutus benang-benang sedemikian rupa. Kemudian oleh Sang Ahli, kumpulan kain yang terkoyak bersambung oleh benang menjadi pakaian yang indah.

Gunting itu jadi berfaedah.

Untukmu, manusia gunting. Aku percaya kita semua berada pada tangan Sang Ahli. Tiap potongan yang kau buat mungkin semu. Ia bagai pahitnya obat, sebelum menuju kesembuhan.

)*makasih mas Handitia Alfi P. untuk ilustrasinya