Jumat, 21 Oktober 2016

Kepuasan Itu Batasnya Langit

Jumat malam, setelah hujan siangnya. Minggu ini jadwalku pulang ke Semarang. Menyudahi kelumrahan, aku kembali ke kebiasaan lama. Naik kereta ekonomi. Ibarat berangkat ke masjid lewat jalan sini, pulangnya lewat jalan situ -yang tampak remeh untuk sebuah eksplorasi, namun setitik hal baru kadang membawa penyegaran besar.

Bahwa aku merasa nelangsa setelah biasanya pulang dengan kelas eksekutif nyatanya pelan pelan kutampik. Meski duduknya tak selonggar argo anggrek, dimana lutut ku dan lutut penumpang lain dapat dengan mudah bertegur sapa. Bagasi kabin pun harus berebut. Dijejalkan sekenanya.

Tapi....
ini berkali kali lipat lebih baik jika dibanding sebelum kereta api bertransformasi seperti sekarang. Orang orang tak lagi berdiri lama karena tidak kebagian tempat duduk. Nuansa kabin lebih nyaman, tak seperti dulu - belum ada AC dan asap rokok bersliweran bercampur dengan aroma keringat para penumpang.

Berkali lipat lebih baik? Ya. Namun, apakah sudah selesai?
Seorang pernah bilang padaku,
"memuaskan manusia itu batasnya langit. Bagi sebagian manusia, Tuhan pun mereka protes".
Hmm, batasnya langit. 15 menit awal perjalananku tadi tampak bahwa standar minimal kepuasanku meninggi. :p

Ini baru lingkup kereta api. Nyatanya di dimensi kehidupan lain, berurusan dengan  manusia butuh seninya sendiri. Batasnya langit. Hehe.

Akan jadi baik, jika 'batas langit' ini menjadi motivasi untuk memberikan kebermanfaatan yang lebih luas dan pergerakan ke arah yang lebih baik. Namun jika malah menjadi penyakit hati maka syukurilah nikmat, ambilah hikmah. Manis ada karena pahit juga ada. Syukuri yang manis. Sepertiku.

)* ditulis dalam kereta Kertajaya, oleh aku yang masih terus belajar bersyukur.